Tittle : ANOTHER DAY
Cast : Jung Sooyeon
Kim Haerim
Baek Hayoung
Kwon Woobin
Kim Yoontae
Han Jaeyi
Genre : Love Story, Drama, Mature, Friendship,
Series
Copyright © royalfams418.2022. Allright Reserved
This is just my imagination & don’t copy paste without permission
——————————————————————–
.
.
Part 4
.
.
Jaeyi terkejut begitu mendatangi ruang santai Haerim. Namun, ia juga tak bisa menyembunyikan perasaan senangnya saat melihat sosok lain yang ada disana. Rumor yang tersebar tentang gadis itu benar adanya.
.
“Apa kau baik-baik saja, Sooyeon-ssi? Aku Han Jaeyi, asisten Direktur Kim”, ujarnya menyapa gadis itu sembari memperkenalkan diri.
.
Sooyeon hanya mengangguk tanpa mengatakan sepatah katapun. Sementara, Jaeyi segera mengeluarkan sesuatu dari kantong belanjaan yang sedari tadi ia pegang. Tak berapa lama, Haerim kembali ke ruangan.
.
“Aku harap, pilihan makananku cocok dengan seleramu Sooyeon-ssi”, ujarnya lagi sembari mengubah meja didepannya menjadi meja penuh dengan makanan.
.
“Terima kasih”, balas Sooyeon singkat.
.
“Gomawo, Jaeyi-ssi”, suara Haerim menimbrung dan ia duduk bersebrangan dengan Sooyeon sementara Jaeyi menyelesaikan pekerjaannya.
.
“Kau tidak ingin bergabung?”, tanya Haerim begitu melihat Jaeyi tampak bersiap pergi.
.
Menyadari suasana di dalam ruangan, Sooyeon pun angkat bicara. “Sebaiknya kau ikut bergabung. Aku tidak enak sudah merusak waktu istirahat Direktur Kim dan merepotkannya karena keteledoranku”
.
“Tidak masalah. Kau salah satu artisku”, jawab Haerim tanpa sadar bahwa kata-kata itu hampir melukai seseorang.
.
“Ah, maksudnya… Direktur sangat menghargai para artisnya. Mungkin saja dia khawatir karena kau terluka” Jaeyi segera menyahut. Entah karena kebiasaan atau memang dia sudah terbiasa dengan sikap Haerim yang kadang tidak menyadari ucapannya.
.
Sooyeon tersenyum pada wanita itu. “Aku mengerti”
.
Suasana makan hari itu menjadi suasana yang paling kikuk yang pernah ada. Baik Haerim, Jaeyi maupun Sooyeon tidak banyak bicara dan hanya mencoba menikmati makanan yang mereka santap.
.
.
.
.
.
——————————————
.
“Woah, whats that?”
.
Jaeyi mengerang frustasi sembari berjalan di sebelah Haerim yang tampak cuek.
.
“Aku sangat excited mendengar bahwa dia akan berada di bawah naungan X3. Tapi suasana tadi sangat menyebalkan. Bisakah kau tidak terlalu cuek?”
.
“Wae? Aku sudah menolongnya. Dan lagi, kenapa kau membawa begitu banyak makanan?”
.
“Jadi itu salahku?”
.
“Aish, sudahlah Unnie. Aku sudah menolongnya”
.
Haerim segera membuka pintu mobilnya dan membuat Jaeyi mengalah. “Hati-hati. Menyetirlah dengan benar”
.
“Hmmm. Terima kasih untuk hari ini. Aku ingin beristirahat dengan puas di rumah”
.
Sepeninggal Haerim, Jaeyi kembali masuk ke dalam gedung agensi dan disaat ia melihat Sooyeon bersama beberapa pria yang dikenalnya berasal dari tim produksi.
.
“Sepertinya semua orang menyambut kedatangannya dnegan baik”, ucapnya dalam hati sembari tersenyum.
.
.
.
.
.
.
***
.
.
“Sooyeon-ah, kau meninggalkan apartemen tanpa seizinku. Dimana kau? Aku akan menjemputmu”
.
Suara Minho terdengar gelisah saat mengetahui artisnya tidak berada di tempat yang seharusnya. Terlebih jika mengingat bahwa Jung Sooyeon bukanlah sekedar artis biasa, tapi yang menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun belakangan ini.
.
Sooyeon hanya mendengar omelan itu dalam diamnya dan tatapannya lurus memandang Seoul dari ketinggian dimana tempat ia berdiri saat ini. Kerlap kerlip lampu kota dan kendaraan yang melintas, terlihat sangat indah dimatanya.
.
“Oppa, jangan khawatir. Aku hanya ingin menikmati Seoul sejenak”
.
“Tapi kau sendirian. Bagaimana jika terjadi sesuatu?”
.
“Kumohon, Oppa. Kali ini saja. Aku akan segera pulang”
.
Sooyeon mematikan ponselnya. Suasana malam Seoul yang cukup sejuk tak mengurungkan niat gadis itu menaiki bukit santai yang terletak di tengah kota. Dengan menggunakan penyamarannya, ia berjalan-jalan di sekitar area bukit sambil mendengarkan beberapa playlist dari ipod miliknya.
.
“Apa segalanya akan lebih mudah jika aku menghilang?”
.
.
.
.
.
“Kukatakan untuk yang terakhir, Sooyeon-ah. Apa kau yakin akan ke X3Ent?”
.
Pertanyaan Minho tak mengubah pikiran gadis itu yang sudah bertekad untuk bergabung di salah satu agensi meskipun mendapatkan sedikit penentangan dari sang Manajer yang selama ini menemaninya dari ia mulai berkarir.
.
“Aku harus melangkah maju, Oppa. Jika kita selalu berpijak pada satu tempat, aku takut untuk mengetahui fakta bahwa dunia ini terlalu luas. Aku ingin melihatnya dimanapun aku berada”
.
“Aku hanya tidak ingin kau terluka, Sooyeon-ah”
.
Sooyeon hanya tersenyum tipis mendengar kalimat itu.
.
.
.
“Sebelum melangkah pun, aku sudah terluka”
.
Gadis itu kembali melanjutkan langkahnya menyusuri jalanan kota Seoul yang terlihat berbeda dari sebelumnya. Kota kelahiran yang ia rindukan, meskipun di sisi lain telah menyisakan luka dan kenangan menyakitkan.
.
“Apa kau mau mencoba ini?”
.
Seseorang membuyarkan lamunannya. Wanita paruh baya itu tengah tersenyum padanya dan menawarkan tteokbokki dagangannya pada Sooyeon.
.
Sooyeon tersenyum lalu mencoba mencicipinya. “Hmmm, ini lezat”, komentarnya. Lalu ia melirik ke arah dagangan sang wanita paruh baya itu lalu kembali tersenyum. “Bolehkah aku membeli semuanya? Aku sangat menyukai ini”
.
Wanita itu pun tampak senang dan berterima kasih pada Sooyeon sebelum akhirnya Sooyeon melanjutkan langkahnya kembali.
.
Kini ia berada di pasar malam. Tatapannya mengarah pada sebuah kedai yang tampak sederhana. Ia mendekati kedai itu dan merasa lega bahwa tidak banyak orang berada di kedai ini. Ia memilih duduk di pojok dan membuat pesanan.
.
Begitu pesanannya datang, ia tersenyum lebar. “Kupikir aku tidak pernah bisa menikmati ini lagi”, gumamnya dan menuangkan segelas demi segelas soju yang sudah tidak diminumnya beberapa tahun belakangan.
.
“Ternyata, masih ada bagian dari Seoul yang membuatku bahagia”
.
.
.
.
.
.
—————————————
.
“Permainanmu tadi sangat bagus, Hayoung-ssi”
.
“Anda terlalu memuji saya, Pak”
.
Hayoung kembali mengangkat gelas winenya pada tiga pria yang bersamanya kini. Setelah bermain golf sore tadi, ia kini harus menjamu ketiganya untuk makan malam bersama. Sesuatu yang harus dilakukannya untuk menjaga koneksi bisnis yang dibangunnya.
.
“Aku mendengar project baru X3 diperkirakan akan menakjubkan. Itu artinya aku tidak perlu khawatir bukan?”
.
Hayoung mengangguk. “Direktur Kim sudah paham dengan apa yang dipilihnya. Aku jamin, dia tidak akan mengecewakan”
.
“Sesuai ekspektasiku. Aku tidak menyesal menjadi investor X3 bertahun-tahun lamanya”
.
“Anda terlalu memuji, Pak. Tapi terima kasih. X3 tidak akan mengecewakan anda semua”
.
Makan malam berlanjut diiringi obrolan-obrolan tentang bisnis dan segala pekerjaan. Dari kejauhan sesosok pria hanya menatap dalam diam suasana itu.
.
.
.
.
.
.
“Anda sudah bekerja keras hari ini”
.
Hayoung tersenyum dalam keadaan setengah mabuknya. “Terima kasih Ahjussi”, ujarnya sebelum mabuk ke dalam mobil.
.
“Apa anda akan pulang sekarang?”
.
“Aku ingin beristirahat disini sejenak”, jawabnya tanpa berkomentar lagi.
.
Sang supir pun menuruti permintaan gadis itu. Ia hanya diam dan sesekali mengecek kondisi Hayoung yang tengah memejamkan mata dari balik kaca spion tengah. Butuh waktu bagi Hayoung untuk menikmati tidurnya walau itu sangat singkat.
.
“Antarkan aku pulang ke rumah”
.
Ucapan Hayoung membuat sang supir terkejut. Ia menoleh ke arah sang majikan dan mengerutkan dahinya bingung.
.
“Ahjussi, apa kau lupa dimana rumahku?”
.
“Ani… maksud anda apakah—”
.
Hayoung tertawa sebelum mengangguk. “Hmmm, kediaman keluarga Baek”
.
.
.
.
.
.
“Hayoung-ah?”
.
Sebuah suara membuatnya menoleh. Meskipun sudah berjalan dengan hati-hati, ternyata seseorang masih terjaga. Terlebih itu adalah ibunya.
.
“Eoh, Umma. Maaf, aku tidak memberitahu kedatanganku”, jelasnya dengan suara berbisik
.
Sang Umma menggeleng pelan lalu membantu Hayoung menaiki tangga rumah untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Keduanya pun kini berada di kamar Hayoung. Gadis itu duduk di tepian kasur sementara sang Umma mencarikan pakaian ganti di lemari pink miliknya.
.
“Apa kau baru saja pulang bekerja?”, tanya wanita itu lembut.
.
“Bisa dikatakan begitu. Meeting, bermain golf, dan makan malam” jelasnya
.
“Appamu berangkat ke New York siang tadi. Jika kau ingin berlama-lama disini, Umma akan sangat senang”
.
Hayoung mengangguk tanpa mengatakan sepatah katapun. Tak lama, sang Umma memberikan pakaian ganti dan membantunya untuk masuk ke dalam kamar mandi.
.
Hampir setengah jam berlalu, Hayoung keluar dengan tubuh yang lebih segar. Ia mendapati Ibu tirinya itu duduk di sofa dengan membawakan secangkir minuman hangat.
.
“Seharusnya Umma tidur dan beristirahat”
.
“Ani.. Umma hanya senang karena kau ada disini. Ini, minumlah untuk menghangatkan tubuhmu dan menghilangkan pengar”
.
Hayoung menyesap minuman hangat itu, sementara tiba-tiba ia merasakan sebuah tangan mengusap rambutnya lembut. “Kau sudah semakin tumbuh dewasa. Umma bahkan lupa terakhir kau merengek setiap pulang dari sekolah”
.
“Ah, Baek Hayoung yang cengeng?”, kekehnya mengejek diri sendiri
.
Sang Umma ikut tertawa. Tak henti-hentinya ia mengusap rambut Hayoung. “Datanglah kapanpun yang kau mau, hmm. Umma sangat senang”
.
“Maafkan aku”
.
“Jangan katakan itu, Hayoung-ah. Tidak sekalipun kau melakukan kesalahan”
.
Hayoung meletakkan cangkir yang dipegangnya dan kini mengubah posisinya untuk memandang ibu tirinya dengan lebih intens. “Meskipun di luar sana aku terluka, aku selalu bersyukur bahwa Umma selalu ada mendukungku. Seharusnya Umma bisa lebih bahagia dari sekedar bersama keluarga Baek”
.
“Aigoo~~ kau tumbuh terlalu cepat, hmmm. Aku tidak pernah menyesal untuk menikah dengan ayahmu. Jika iya, aku tidak pernah bertemu dengan seorang putri yang luar biasa sepertimu. Umma yang seharusnya berterima kasih”
.
Hayoung menggeleng pelan lalu memeluk Ibu tirinya itu dengan erat. Tangisan dan beban yang sejak tadi ada dipikirannya, kini ia luapkan semua. Ia menangis keras dalam pelukan itu. Pelukan yang membuatnya merasa aman dan nyaman.
.
.
.
.
.
***
.
.
Pagi yang cerah. Entah kenapa hari ini Seoul sangat indah. Perasaan itu sedari tadi yang dirasakan Haerim sembari dirinya terus berlari menikmati suasana pagi ini.
.
“Hmm, aku tahu. Aku akan kesana setelah selesai berolahraga”
.
“Aigoo~~ kau masih bisa berolahraga setelah semalam kau hanya minum di dalam rumah huh?”
.
“Unnie, aku akan menjaga kesehatanmu. Seharusnya kau memujiku”
.
“Aish, terserah kau saja. Jangan lupa sarapan atau aku akan membawakan segudang makanan ke ruangan—”
.
Haerim mematikan panggilan itu sembari bergidik. Ia sudah tahu bahwa Jaeyi tidak main-main dengan ucapannya. Terkadang bukan keinginannya untuk melupakan jam makannya, tetapi Haerim hanya merasa ia tidak tertarik dan peduli. Ia hanya akan makan jika merasa lapar.
.
Gadis itu kembali melanjutkan aktivitas jogging paginya sembari menikmati musik dari ponselnya.
.
.
“Huh?”
.
Haerim menghentikan langkahnya begitu menyadari seseorang yang ia kenal sedang duduk di bangku yang berada di tepian sungai han dan memijit pergelangan kakinya.
.
“Sooyeon-ssi?”
.
Sosok itu mendadak terdiam tanpa menoleh begitu sebuah suara menyapanya.
.
“Tenanglah, aku bukan seorang fans”
.
Kalimat selanjutnya membuat ia sosok itu merasa lega sebelum akhirnya melihat ke arah sumber suara. Tatapannya tetap terkejut sebelum Haerim menghampirinya semakin dekat.
.
“Kau berolahraga dengan kondisi kaki seperti itu?”, ada suara keheranan dari nada Haerim.
.
“Aku hanya berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan sakitnya”
.
Haerim menunduk di hadapan Sooyeon dan memegang kaki gadis itu. “Masih sedikit bengkak”, ujarnya. “Apa sakitnya benar-benar sudah berkurang?”
.
Pertanyaan Haerim membuat keduanya kini saling berpandangan satu sama lain. Haerim mendongakkan wajahnya sementara Sooyeon menundukkan wajahnya. Keduanya terdiam beberapa saat. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.
.
.
“Sooyeon-ah”
.
Haerim refleks berdiri dan melepaskan tangannya dari kaki Sooyeon. Tak jauh dari mereka, seorang pria memanggil Sooyeon dan berjalan menghampirinya. “Maaf, tempat jualannya sedikit jauh dari sini”, jelasnya pada Sooyeon sembari membawa beberapa botol mineral di dalam plastic
.
“Oh, Direktur Kim”, sapanya lagi begitu menyadari siapa yang ada bersama Sooyeon.
.
“Oh hai”, sapa Haerim canggung.
.
“Apa anda tinggal di sekitaran sini?”
.
“Ah, tidak juga. Aku hanya ingin datang kesini dan melakukan jogging sebentar”
.
Pria itu mengangguk mengerti. Tak lama ia pun menawarkan minuman pada Haerim, kemudian memberikannya pada Sooyeon sebelum melihat pergelangan kaki gadis itu.
.
“Kudengar anda yang membantu Sooyeon. Terima kasih atas bantuannya”
.
Mengerti apa yang dibicarakan manajer Sooyeon, Haerim pun mengangguk. “Tidak masalah. Aku kebetulan berada disana”
.
Tiba-tiba angin pagi di pinggir sungai Han terasa dingin. Menyadari hal itu, sang manajer bergegas pergi menuju mobil untuk mengambilkan jaket milik Sooyeon.
.
Ada keheningan disana beberapa saat, sebelum Sooyeon kembali bersuara. “Apa anda senang berolahraga disini?”
.
“Ah, soal itu. Tidak juga, aku hanya ingin berlari karena cuaca hari ini” jelas Haerim memandang ke hamparan sungai Han. “Bagaimana denganmu?”
.
“Aku?” Sooyeon tertawa sejenak. “Lari bukanlah hobiku. Aku hanya berjalan-jalan saja”
.
Tanpa sadar, Haerim mengangguk dan ikut tertawa.
.
“Satu-satunya yang tidak berubah adalah suasana di sini” komentar Sooyeon.
.
“Tapi, bukankah Amerika lebih menyenangkan? Kupikir orang-orang lebih tertarik untuk berpergian kesana daripada sungai Han”
.
“Tentu saja. Tapi aku bukan bagian dari orang-orang itu”
.
Jawaban Sooyeon membuat Haerim menoleh ke arahnya. Dan baru disadari, ternyata Sooyeon sudah lebih dulu menatap ke arahnya.
.
“Mungkin sebagian dari mereka merasa jenuh dan ingin suasana baru”, lanjutnya lagi dan keduanya masih saling bertatapan. “Tapi bagiku, semua yang ada disini rasanya seperti meredam rasa sedihku”
.
Haerim merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Kalimat yang ia dengar barusan, membuatnya meneteskan cairan di sudut matanya. Hingga tanpa ia sadari, manajer Sooyeon sudah kembali dan memberikan gadis itu jaket miliknya.
.
“Sebaiknya kita sudahi disini”
.
Sooyeon melepaskan pandangannya dan mengangguk menjawab ajakan sang manajer. Ia berdiri perlahan, kakinya sudah mulai membaik meskipun masih terlihat sedikit bengkak.
.
“Kami pamit dulu, Direktur Kim. Have a good day”, Ucap Sooyeon sembari membungkuk sopan begitu pula dengan sang manajer.
.
Haerim hanya membalas seadanya dan membiarkan keduanya beranjak dari situ. Tapi satu yang tidak berubah, tatapan matanya tak lepas dari punggung Sooyeon yang mulai menjauh.
.
.
.
.
“Apa dia sedang bersedih?”
.
.
.
.
.
TBC